Dalam kesempatan sebuah seminar, satu pertanyan
menarik pernah dilontarkan oleh Kamaruddin Hidayat (Rektor UIN Syarif
Hidatullah Jakarta) kepada para audien, mengapa para pemain bola ketika sedang
bermain tidak pernah menggunakan handphone untuk menghubungi orang lain
atau bermain-main dengan Short Message Service (SMS)? Mereka justru
begitu bersemangat bekerja sama, berlari mengejar bola, membawa, mengoper
atau menerima bola lalu mengarahkan dan menggiringnya ke jala lawan. Sang
Penjaga gawang sekalipun meski bola jauh dari area pertahanannya, tetap fokus
memperhatikan ke arah mana bola dibawa oleh para pemain. Semua ini mereka
lakukan hanya semata untuk meraih prestasi terbaik dalam profesi mereka.
Mendengar pertanyaan seperti ini peserta seminar
hanya terdiam, lalu Kamaruddin menjawab sendiri pertanyaannya, bahwa semua itu
terjadi disebabkan “waktu terbatas”. Menurutnya jika permainan bola itu
waktunya lama misalnya sampai dua hari, mungkin ada pemain yang santai,
bermain-main SMS atau melakukan hal lainnya.
Keterbatasan waktu membuat mereka berlomba-lomba
membuat prestasi, apalagi jika permainan sudah memasuki injury time,
permainan tambah seru. Kedua klub yang bertanding meningkatkan pola
permainannya baik menyerang maupun bertahan, seakan-akan tidak ingin kehilangan
waktu meski satu detik. Mereka memiliki keyakinan dengan melihat sejumlah fakta
di lapangan, bahwa tidak jarang terjadi gol (prestasi) justru di saat-saat
menjelang akhir pertandingan (injury time).
Filosofi permainan bola seperti digambarkan di
atas tidak jauh berbeda dengan drama kehidupan anak manusia. Jika kesadaran
manusia tumbuh bahwa hidup ini begitu singkat dan waktu yang diberikan Tuhan
sangat terbatas, maka tidak ada manusia yang mencoba-coba menyia-nyiakan
kesempatan yang diberikan Tuhan. Akan tetapi, masih banyak manusia yang
tidak menyadari hal ini, sehingga kehidupan mereka tampak santai, tidak berbuat
banyak untuk kemaslahatan dan begitu banyak waktu yang terbuang hanya untuk
pekerjaan yang tidak bermanfaat.
Tokoh Spiderman dari Prancis yang sukses
menaklukkan gedung pencakar langit tertinggi di Dubai ditanya oleh wartawan,
apakah dia tidak takut jatuh lalu meninggal? Dia menjawab bahwa ia tidak
pernah merasa takut dengan menaiki gedung-gedung tinggi tersebut. Namun menurut
pengakuannya yang paling ditakutinya dalam hidup adalah ketika waktu terbuang
sia-sia dalam kehidupannya.
Hari Jumat 18 Maret 2011, Jepang digoncang oleh
gempa tektonik berkekuatan 8,9 scala richter. Banyak bangunan yang rubuh dan
porak poranda akibat gempa. Beberapa saat setelah gempa, gelombang
tsunami pun menerjang menyapu daratan Jepang, meluluh lantakkan semua bangunan
yang diterjang oleh gelombang dahsyat tersebut. Musibah ini menyebabkan tidak
kurang dari sepuluh ribu jiwa melayang, dan puluhan ribu lainnya
hilang.
Akibatnya banyak masyarakat kelaparan, kehilangan
tempat tinggal, kekurangan air bersih, pakaian dan selimut. Meski sudah
mengalami nasib tragis seperti itu, tampaknya badai bencana belum berakhir. Dua
hari kemudian, dua reaktor nuklir pembangkit listrik meledak dan ini
mengakibatkan timbulnya radiasi yang sangat membahayakan kehidupan.
Uniknya, menurut laporan yang dapat dipercaya,
meski mengalami kondisi seperti itu, tidak pernah sekalipun terjadi penjarahan
di kota di mana musibah tersebut terjadi. Toko-toko/kedai tetap buka bahkan
pemiliknya menurunkan harga di bawah harga standar. Demikian pula, meski
mereka kelaparan, kekurangan makanan, air bersih, selimut dan tempat tinggal,
mereka dengan sabar dan antri berdiri satu persatu di dalam sebuah barisan yang
begitu rapi hanya untuk mendapatkan jatah makanan dan air bersih dan selimut
dari para petugas dan relawan yang datang. Bahkan pemerintah Jepang sebagaimana
dilaporkan oleh sejumlah media baik asing maupun dalam negeri, berjanji tidak
akan mengurangi atau menghapuskan bantuannya ke Indonesia meski mereka pun
sedang berada dalam kesulitan.
Sebagian relawan yang datang ke sana menanyakan,
apa gerangan yang menyebabkan orang Jepang memiliki komitmen dengan prinsip
kehidupan seperti itu. Mereka menjawab; ”waktu terbatas.” Mereka belajar
kehidupan dari filosofi bunga Sakura, bunga yang hanya hidup sekali dalam
satu tahun yaitu seminggu selama bulan April. Akan tetapi, di saat bunga Sakura
merekah selama seminggu itu, orang-orang senang melihat, mendekat dan
menciumnya. Bunga Sakura memberikan rona-rona keindahan bagi yang
melihatnya, menaburkan kesejukan bagi yang mendekatinya dan menebarkan aroma indah
bagi yang menciumnya. Bunga Sakura mewarnai falsafah hidup orang Jepang, meski
hidup bunga Sakura singkat tetapi selalu memberikan yang baik
dan terbaik kepada orang lain. Falsafah Sakura inilah yang tercermin
dalam kehidupan mereka. Karena sadar hidup tidak lama, maka tiada waktu yang
terlewat kecuali untuk berkarya berbuat kebaikan dan membangun peradaban.
Kenyataan
semacam ini justru sangat kontras dan jauh berbeda dengan kondisi bangsa
Indonesia. Ketika perut sudah tidak dapat dikendalikan lagi, maka penjarahan
pun terjadi. Setiap ada kegiatan pembagian sembako atau pembagian zakat dari
orang kaya, biasanya juga terdengar adanya korban akibat berebut dan
terinjak-injak ketiga mengambil jatah sembako. Ketika masyarakat
mengalami musibah akibat bencana alam, para pemilik toko/kedai memanfaatkan
kesempatan dalam kesempitan. Akibatnya harga-harga juga merangkak naik.
Pandangan
Islam
Karena
waktu terbatas, maka Islam mengajarkan kepada manusia untuk menghargai waktu
yang Tuhan berikan dalam kehidupan. Agama menyuruh kita untuk mengisi
waktu dengan etos kerja yang bermanfaat (amal saleh). Dalam Islam setiap
manusia diberikan kebebasan untuk berusaha dan bekerja sebaik-baiknya untuk
kepentingan kehidupan baik secara individu maupun masyarakat (jemaah). Tetapi
di samping menekankan hak dan kebebasan individu, Islam juga sangat
mementingkan semangat kebersamaan, karena itu setiap individu harus mengeola
kegiatan-kegiatan kehidupannya atas semangat kebersamaan, dan tolong-menolong.
Islam tidak menyukai semangat kompetensi yang tidak sehat dan tidak
bermartabat.
Muslim yang baik dan sadar dengan kehidupan yang
waktunya sangat terbatas ini tidak akan menanamkan semangat pertarungan bebas
dengan mengorbankan kebersamaan. Sebaliknya dia akan memegang teguh prinsip
kehidupan seperti kejujuran, tanggung jawab, disiplin kerja sama,
tolong-menolong, kasih sayang dan peduli sebagai sebuah cara menjadikan
kehidupan agar lebih berperadaban.
By : Sukmahadi (Mahasiswa Univ. Sidi
Mohammed Ben Abdellah Fes, Maroko, Afrika Utara)
0 komentar :
Posting Komentar