Tatkala masih di bangku sekolah, aku hidup bersama kedua orangtuaku dalam lingkungan yang baik. Aku selalu mendengar do’a ibuku saat pulang dari keluyuran dan begadang malam. Demikian pula ayahku, ia selalu dalam shalatnya yang panjang. Aku heran, mengapa ayah shalat begitu lama, apalagi jika saat musim dingin yang menyengat tulang.
Aku
belum tahu bahwa di situlah kebahagiaan orang mukmin, dan itulah shalat
orang-orang pilihan…Mereka bangkit dari tempat tidumya untuk bermunajat kepada
Allah.Setelah menjalani pendidikan militer, aku tumbuh sebagai pemuda yang
matang. Tetapi diriku semakin jauh dari Allah. Padahal berbagai nasihat selalu
kuterima dan kudengar dari waktu ke waktu.
Di
sana, aku tak mendengar lagi suara bacaan Al-Qur’an. Tak ada lagi suara ibu
yang membangunkan dan menyuruhku shalat. Aku benar-benar hidup sendirian, jauh
dari lingkungan keluarga yang dulu kami nikmati.
Pekejaan baruku sungguh menyenangkan. Aku lakukan
tugas-tugasku dengan semangat dan dedikasi tinggi.
Aku mulai jenuh…tak ada yang menuntunku di bidang agama.
Aku sebatang kara. Hampir tiap hari yang kusaksikan hanya kecelakaan dan
orang-orang yang mengadu kecopetan atau bentuk-bentult penganiayaan lain. Aku
bosan dengan rutinitas. Sampai suatu hari terjadilah suatu peristiwa yang
hingga kini tak pernah kulupakan.
Kejadian yang sungguh tragis. Kami lihat dua awak salah
satu mobil daIam kondisi sangat kritis. Keduanya segera kami keluarkan dari
mobil lalu kami bujurkan di tanah. Kami cepat-cepat menuju mobil satunya. Ternyata pengemudinya telah tewas dengan
amat mengerikan. Kami kembali lagi kepada dua orang yang berada dalam kondisi
koma. Temanku menuntun mereka mengucapkan kalimat syahadat.
Aku
diam membisu. Aku tak berkutik dengan pandangan nanar. Seumur hidupku, aku
belum pernah menyaksikan orang yang sedang sekarat, apalagi dengan kondisi
seperti ini. Temanku terus menuntun keduanya mengulang-ulang bacaan syahadat.
Tetapi… keduanya tetap terus saja melantunkan lagu.
Tak
ada gunanya…
Suara
lagunya semakin melemah…lemah dan lemah sekali. Orang pertama diam, tak
bersuara lagi, disusul orang kedua. Tak ada gerak… keduanya telah meninggal
dunia.
Kami
segera membawa mereka ke dalam mobil.Temanku menunduk, ia tak berbicara sepatah pun. Selama pejalanan hanya ada kebisuan, hening.
Kesunyian
pecah ketika temanku memulai bicara. Ia berbicara tentang hakikat kematian dan
su’ul khatimah (kesudahan yang buruk). Ia berkata: “Manusia akan mengakhiri
hidupnya dengan baik atau buruk. Kesudahan hidup itu biasanya pertanda dari apa
yang dilakukan olehnya selama di dunia”. Ia bercerita panjang lebar padaku
tentang berbagai kisah yang diriwayatkan dalam buku-buku Islam. Ia juga
berbicara bagaimana seseorang akan mengakhiri hidupnya sesuai dengan masa
lalunya secara lahir batin.
Tetapi
perlahan-lahan aku mulai melupakan peristiwa itu.
Aku
kembali pada kebiasaanku semula…Aku seperti tak pemah menyaksikan apa yang
menimpa dua orang yang tak kukenal beberapa waktu lalu. Tetapi sejak saat itu,
aku memang benar-benar menjadi benci kepada yang namanya lagu-lagu. Aku tak mau
tenggelam menikmatinya seperti sedia kala. Mungkin itu ada kaitannya dengan
lagu yang pemah kudengar dari dua orang yang sedang sekarat dahulu.
Ia
turun dari mobilnya untuk mengganti ban yang kempes. Ketika ia berdiri di
belakang mobil untuk menurunkan ban serep, tiba-tiba sebuah mobil dengan
kecepatan tinggi menabraknya dari arah belakang. Lelaki itu pun langsung
tersungkur seketika.
Aku
dengan seorang kawan, -bukan yang menemaniku pada peristiwa yang pertama- cepat-cepat
menuju tempat kejadian. Dia kami bawa dengan mobil dan segera pula kami
menghubungi rumah sakit agar langsung mendapatpenanganan.
Dia
masih muda, dari tampangnya, ia kelihatan seorang yang ta’at menjalankan
perintah agama.
Ketika
mengangkatnya ke mobil, kami berdua cukup panik, sehingga tak sempat
memperhatikan kalau ia menggumamkan sesuatu. Ketika kami membujurkannya di
dalam mobil, kami baru bisa membedakan suara yang keluar dari mulutnya.
Ia
melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an…dengan suara amat lemah.
“Subhanallah!
” dalam kondisi kritis seperti , ia masih sempat melantunkan ayat-ayat suci
Al-Quran? Darah mengguyur seluruh pakaiannya; tulang-tulangnya patah, bahkan ia
hampir mati.
Dalam
kondisi seperti itu, ia terus melantunkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan suaranya
yang merdu. Selama hidup aku tak pernah mendengar suara bacaan Al
Quran seindah itu. Dalam batin aku bergumam sendirian: “Aku akan
menuntun membaca syahadat sebagaimana yang dilakukan oleh temanku terdahulu…
apalagi aku Sudah punya pengalaman,” aku meyakinkan diriku sendiri.
Aku
dan kawanku seperti kena hipnotis mendengarkan suara bacaan Al-Qur’an yang
merdu itu. Sekonyong-konyong tubuhku merinding menjalar dan menyelusup ke
setiap rongga.
Aku
lalu memandanginya lekat-lekat, air mataku menetes, kusembunyikan tangisku,
takut diketahui kawanku. Kukabarkan kepada kawanku kalau pemuda itu telah
wafat. Kawanku tak kuasa menahan tangisnya. Demikian pula halnya dengan diriku.
Aku terus menangis, air mataku deras mengalir. Suasana dalam mobil betul-betul
sangat mengharukan.
Salah
seorang petugas tumah sakit menghubungi rumah almarhum. Kami ikut mengantarkan
jenazah hingga ke rumah keluarganya. Salah seorang saudaranya mengisahkan
ketika kecelakaan, sebetulnya almarhum hendak menjenguk neneknya di desa.
Pekerjaan itu rutin ia lakukan setiap hari Senin.
Bila
ada yang mengeluhkan-padanya tentang kejenuhan dalam pejalanan, ia menjawab
dengan halus. “Justru saya memanfaatkan waktu perjalananku dengan menghafal dan
mengulang-ulang bacaan Al-Qur’an, juga dengan mendengarkan kaset-kaset
pengajian, aku mengharap ridha Allah pada setiap langkah kaki yang aku
ayunkan,” kata almarhum.
Aku
ikut menyalati jenazah dan mengantarnya sampai ke kuburan.
Dalam
liang lahat yang sempit, almarhum dikebumikan. Wajahnya dihadapkan ke kiblat.“Dengan nama Allah dan atas ngama Rasulullah”.
Pelan-pelan, kami menimbuninya dengan tanah…Mintalah kepada Allah keteguhan hati saudaramu, sesungguhnya dia akan ditanya…
Almarhum menghadapi hari pertamanya dari hari-hari
akhirat…
Dan aku… sungguh seakan-akan sedang menghadapi hari
pertamaku di dunia. Aku benar-benar bertaubat dari kebiasaan burukku.
Mudah-mudahan Allah mengampuni dosa-dosaku di masa lalu dan meneguhkanku untuk
tetap mentaatinya, memberiku kesudahan hidup yang baik (khusnul khatimah) serta
menjadikan kuburanku dan kuburan kaum muslimin sebagai taman-taman Surga.
Amin…(Azzamul Qaadim, hal 36-42)
Sumber : [“Saudariku Apa
yang Menghalangimu Untuk Berhijab”; judul asli Kesudahan yang Berlawanan; Asy
Syaikh Abdul Hamid Al-Bilaly; Penerbit : Akafa Press Hal. 48]
0 komentar :
Posting Komentar